
Selama 18 tahun usaha bordir aplikasi yang dijalankan oleh Endang Widati (61 tahun) eksis di industri pakaian jadi. Ketekunan dan ketelatenan warga Jalan Raya Wendit Barat, Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis itu berbuah manis. Kini usaha yang dirintis dengan modal Rp 50 ribu, mampu menghasilkan sekitar Rp 33 juta per bulan.
Butik Endang berada di kawasan di Jalan Raya Wendit Barat. Kerja kerasnya tampak pada bangunan megah dua lantai. Lantai satu digunakan untuk memamerkan seluruh hasil produk siap jual. Sedangkan, aktifitas produksi digelar di lantai dua.
Hasil kreatifitasnya beragam, mulai tempat tisu, penutup kulkas, taplak meja makan, sarung bantal, sprei hingga bedcover. Semua tersaji dalam beragam corak dan perpaduan warna.
“Kalau tempat tisu dan taplak meja, termasuk usaha saya mulai dari pertama dahulu sampai sekarang. Meski pun usianya sudah belasan tahun, namun tetap diminati. Makanya, saya tetap menyediakannya untuk pembeli,” kata Endang membuka pembicaraan dengan Malang Post.
Pensiunan PNS di Balai Pemeliharaan Tanaman Tembakau-Karangploso itu bercerita, tahun 1997 menjadi awal usaha bordir aplikasinya. Alasan memilih bordir aplikasi, karena merupakan bordir kuno yang banyak disukai orang. Meskipun, untuk pembuatannya memiliki kerumitan.
“Bordir aplikasi ini memiliki lima tahapan pembuatan yang harus dilalui. Mulai dari menggambar, lalu memindahkan gambar itu ke kain, kemudian pengguntingan, lalu merekatkan objek gambar hingga membordirnya, semua proses itu harus dijalankan. Makanya, karena rumit itu hasil dari produk yang disajikan sangat berbeda dibandingkan bordir lain yang biasanya hanya menempel dan membordir kain,” urai Endang.
Kali pertama membuka usaha, tambah ibu dua anak tersebut, modal yang digunakannnya sekitar Rp 50 ribu. Saat itu, produk pertama yang dibuat adalah tempat tisu, taplak dan pembungkus galon air mineral. Karena masih laris, sampai saat ini, tempat tisu dan taplak masih diproduksi.
“Dengan modal itu, saya bisa membuat tempat tisu, taplak dan pembungkus galon yang jumlahnya total 10 produk. Kebetulan, saat itu kain yang digunakan sudah langsung kain katun. Sementara harganya, permeter ketika itu masih Rp 6 ribu. Makanya, bisa sampai jadi banyak,” tambahnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ungkap Endang, usaha yang dirintisnya pun mulai merambah ke bentuk pakaian. Adalah daster khas malangan, yang sengaja dibuatnya untuk memberikan sesuatu yang spesial kepada pembeli. Dengan harga yang relatif terjangkau yaitu Rp 80 ribu, konsumen bisa membawa pulang satu daster yang sudah diminati hingga Bali dan Makassar.
“Sekitar Tahun 1999, saya mulai mengembangkan usaha ini ke daster malangan. Kesan berbeda dari daster ini, selain kain yang digunakan tetap katun dan katun jepang (lebih dingin saat dipakai), bordir aplikasi tetap dilekatnya di daster tersebut. Plus, ditambah dengan corak warna yang bisa dipilih langsung oleh pembeli yang tidak ingin beli daster yang sudah jadi. Sehingga, di sini pembeli juga bisa memilih jenis kain atau warna yang akan digunakan di daster,” papar perempuan berkaca-mata itu.
Khusus kepada pemesan daster, tambah Endang, karena proses pembuatan baju tidur itu butuh waktu hingga dua hari, maka masa pembuatan tersebut juga disampaikan ke pembeli. Sehingga, produknya tidak dianggap lambat dalam melayani pesanan.
“Kalau daster, biasanya butuh waktu dua hari. Mengenai tempo pembuatan itu, hampir semua pelanggan sudah paham. Malahan, selama beberapa bulan terakhir, banyak konsumen yang meminta dibuatkan Katun Jepang dengan harga kisaran Rp 150 ribu. Motif dan bentuk kainnya yang halus, membuat produk terbaru itu mulai kian digemari,” tambahnya.(
No comments:
Post a Comment